biografi arung palakka

 

BIOGRAFI ARUNG PALAKKA RAJA BONE

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Arung Palakka dikenal sebagai sosok yang berjasa dalam memerdekakan rakyat Bugis dari cengkeraman kekuasaan Kerajaan Gowa di masa lampau. Ia juga terlibat dalam Perang Makassar 1666-1669 yang melahirkan perjanjian Bongaya.


Dijelaskan dalam buku berjudul "Arung Palakka" yang diterbitkan Perpustakaan Nasional RI, bahwa Arung Palakka memiliki nama kecil La Tenritatta To Unru Daeng Serang. Nama Arung Palakka sendiri merupakan salah satu gelar yang disematkan kepadanya.


Banyak gelar yang disematkan pada sosok La Tennritatta, diantaranya Datu Mariyo, Arung Palakka, Malampe-e Gemme'na, Torisompe dan nama anumertanya ialah Matinroe ri Bontoala. Di Makassar ia dikenal dengan gelar Daeng Serang.

Arung Palakka adalah Raja Bone ke-15 lahir pada hari Jumat, 15 September 1634, di sebuah desa yang bernama Lamotto, Mario-ri Wawo, Soppeng, dan meninggal di Bontoala, 6 April 1696. Ayahnya bernama Lapattobune Aru Tana Tengga dan ibunya bernama We Tennisui, yang adalah puteri Raja Bone XII. Ketika umurnya delapan tahun, Bone diperangi Kerajaan Gowa dan berhasil menaklukkannya.

Sejak berumur 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Gowa. Mereka beruntung karena menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan Gowa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangeran yang mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.

Meski dia terlibat aktif di Istana Gowa dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’ dan pacce mengingatkannya selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa rakyatnya menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin hebat karena harus menyaksikan 10.000 orang tua maupun muda diseret dari Bone ke Makassar atas perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati) Bone, Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali kanal di sepanjang garis pertahanan pantai Makassar agar ada pemisah antara Kerajaan Goa dan Benteng Pa’nakkukang yang diduduki VOC.

Pada akhir 1660, Arung Palakka dibantu beberapa mantan petinggi Kesultanan Bone yang masih setia menyerang Gowa. Serangan ini membawa hasil, Arung Palakka membebaskan orang-orang Bone yang dipekerjakan paksa. Sayangnya, Tobala tewas dalam peperangan tersebut.


Arung Palakka terpaksa mundur. Untuk meraih kemenangan, ia belum sanggup lantaran armada militer Gowa masih terlalu kuat, bahkan membuatnya kian terdesak. Arung Palakka pun terpaksa melarikan diri karena menjadi target utama pasukan Gowa yang mencarinya sampai ke Buton. Di saat yang sama, VOC datang menawarkan bantuan. Kondisi ini sebenarnya dilematis bagi Arung Palakka. Di satu sisi, ia muak dengan ambisi VOC. Namun di sisi lain, ia memerlukan dukungan kaum penjajah itu jika ingin menuntaskan dendamnya sekaligus menjadikan Bone sebagai pemerintahan yang berdaulat lagi. Akhirnya, pada 1663, Arung Palakka dan para pengikutnya berlayar jauh ke Batavia, tepat di mana pusat kekuasaan VOC berada.

Pada 24 November 1666 armada besar bertolak dari pesisir utara Batavia menuju Celebes, terdiri dari 21 kapal perang yang mengangkut 1.000 prajurit. Pasukan Arung Palakka yang beranggotakan 400 orang semakin percaya diri berkat bantuan VOC yang menyumbangkan 600 orang tentaranya dari Eropa yang paling terlatih.

Mereka berangkat untuk mengalahkan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin. Terjadilah pertempuran legendaris itu. Gowa pada akhirnya menyerah, dan tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang menandai kemenangan VOC dan Arung Palakka walaupun selama beberapa tahun berikutnya serpihan pasukan Gowa masih melakukan perlawanan.

Arung Palakka menjadi pengingat bahwa baik Arung Palakka maupun Sultan Hasanuddin telah melakukan apa yang mereka pikir terbaik bagi rakyat dan wilayahnya masing-masing. Sayang sekali bahwa waktu telah membuat mereka berada di seberang jalan yang berbeda. Namun waktu juga bisa memberi ruang yang cukup bagi keturunan mereka untuk belajar dari konflik yang pernah terjadi, untuk mengubur luka lama, untuk lebih bijak, dan untuk bersatu membangun kehidupan masa depan yang lebih baik.



Komentar